✍ SEPENGGAL EPISODE GURU DAN SISWA ZAMAN NOW ✍
By : Sri Wiyanti Ummu Khansa'
Di sebuah kelas pada jam pelajaran pertama. Seorang guru memasuki ruangan kelas dengan ucapan salam.
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarokatuh.... sebagian siswa menjawab salam sementara sebagiannya sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Seusai mengabsen kehadiran siswa sang guru berdiri di depan kelas sambil mengajukan pertanyaan. Bagaimana kabar anak-anak pagi ini? Tanya sang guru ! Baik buuuuu....jawab siswa lumayan semangat, maklum pelajaran pertama. Kembali sang guru mengajukan pertanyaan. Anak-anak! ibu masih punya dua pertanyaan, ibu minta dijawab dengan jujur ya! Iya buuuu... timpal anak-anak lagi. Sebelum berangkat sekolah siapa yang sempat pamitan pada orang tua dan mencium tangannya? Yang melakukan silakan mengacungkan jari, ujar sang guru. Terlihat beberapa anak dengan malu-malu mengacungkan jari...ya sekitar empat atau lima orang anak. Siswa lain mulai kasak-kusuk, sebagian membully teman-temannya yang mengacungkan jari. Huuuuuu.... bohong buuuuuu...mana pernah dia mencium tangan orang tuanya....timpal teman-temannya. Kalau dia sih sukanya main kartu Bu.... padahal anak perempuan lho! Celetuk salah seorang siswa laki-laki pada temannya. Huuuuuu... kembali suasana kelas hiruk pikuk dengan teriakan dan saling membully.
Sudah....sudah...sudah...sang guru berusaha menenangkan suasana kelas. Ayo... Siapa tadi yang menunaikan sholat subuh? Anak-anak terlihat saling pandang, namun tak satupun yang mengacungkan jari. Setelah memberikan nasehat singkat sang guru memulai pelajaran hari itu hingga bel pergantian jam berbunyi.
Di sebuah kelas dengan jenjang berbeda, sang guru kembali membuka pelajaran dengan pertanyaan yang sama dengan kelas sebelumnya. Kondisi kelas inipun tidak jauh berbeda dengan kelas sebelumnya. Hanya beberapa siswa yang terbiasa mencium tangan kedua orang tuanya sebelum berangkat sekolah. Sementara yang menunaikan sholat subuh hanya dua siswa. Mulailah sang guru memberikan nasehat pada siswanya... ketika suasana sedang serius tiba-tiba seorang siswa nyeletuk. Bu....kapan kita belajarnya? Lebih enak dikasi tugas latihan di LKS saja Bu, ....timpalnya! Dari tadi ibu ngomongnya sholat melulu....mending belajar bu....! Nampaknya bagi mereka konsep belajar hanya terbatas pada mengerjakan tugas-tugas latihan yang ada di buku ataupun LKS mereka....
Di sela-sela kemirisan hati melihat tingkah polah siswa-siswinya....sang guru bergumam lirih dalam hati....wahai ayah ibu... adakah kalian telah tiada sebelum kematian merenggut? Ya Allah... sungguh kasihan mereka... memiliki orang tua namun tiada yang peduli bahwa mereka tidak pernah sholat... mereka lupa mengajarkan adab-adab yang baik pada anak-anaknya.... haruskah zaman dijadikan kambing hitam? Sedang setiap masa memiliki tantangannya masing-masing? Semua tanya hanya mampu di simpan dalam dada.
Di sebuah kelas pada pelajaran terakhir. Seorang guru memasuki sebuah kelas dengan ucapan salamnya. Assalamu'alaikum.... beberapa siswa terdengar menjawab salam. Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarokatuh! Namun salah seorang siswa terlihat tidak peduli dengan kehadiran sang guru, dia begitu serius membaca sebuah buku.
Sambil berjalan menuju meja, sang guru penasaran sehingga sempat melirik buku yang dibaca siswa tersebut, oh... ternyata sebuah novel remaja. Suasana kelas perlahan-lahan mulai tertib karena pelajaran akan segera dimulai namun cerita dalam novel lebih indah dan menarik sehingga mengalahkan kehadiran sang guru di depan kelas.
Tidak ingin menyinggung perasaan siswanya, sang guru bertanya, bolehkah ibu meminjam bukunya sebentar? Dengan malas-malasan buku itu diberikan. Ini Bu...! melihat dan membaca judul novelnya membuatnya semakin ingin tahu, rasa penasaran mengajaknya untuk segera membaca sembari mengawasi siswa yang sedang mengerjakan tugas....
Dari judul bukunya sebenarnya sudah bisa ditebak apa isinya namun kata hati sang guru berusaha menepis pikiran-pikiran buruk yang mulai mengganggu. Membaca dengan harapan bahwa judul tidak selalu mencerminkan isi. Bisa jadi hanya gaya bahasa penulis yang sengaja ingin memancing rasa ingin tahu. Membaca sinopsisnya saja tidak cukup menuntaskan rasa ingin tahunya, kembali dia membuka lembar demi lembar buku secara acak.
Tiba disebuah halaman buku, tertulis kalimat " Gilang hanya diam saja, membiarkan kekasihnya terus menatap wajahnya. Bahkan Gilang tetap diam, ketika tangan Suci dengan lembut membelai kedua pipinya. Di halaman yang lain dari buku itu tertulis, " kedua orang tua Suci, membiarkan putri mereka senantiasa bersama, dengan gilang. Bahkan jika suci ingin tidur bersama Gilangpun, mereka mengijinkan. Sebab mereka tahu, cinta Gilang pada Suci tulus dan suci. Hati sang guru mulai membuncah, ada sesak tiba-tiba menyeruak hadir setelah membaca beberapa lembar novel di tangannya.
Ayo Pacaran, judul buku yang menghasung pembacanya untuk melazimkan cinta jahiliyah, sebuah ajakan yang jelas, mengajak remaja berpacaran, mengajak pada perzinahan dan seks bebas. Ternyata inilah bagian dari sumber masalah anak-anak didiknya, mereka sudah terkontaminasi oleh bacaan-bacaan penuh racun mematikan, memang tidak membunuh fisiknya namun mematikan hatinya. Mata sang guru mulai berkaca-kaca menahan kegelisahan di dada, namun segera diusap air matanya, tak ingin siswanya mengetahui bahwa dia menangis.
Setelah siswa selesai mengumpulkan tugas, buku novel tadi dikembalikan pada siswanya, ditahannya pula keinginan untuk memarahi siswanya, namun dalam hati dia bergumam bahwa dia harus melakukan sesuatu untuk menyelamatkan siswa-siswinya.
Sepulang sekolah, sesampainya di rumah, pikirannya masih diliputi tentang siswanya, tentang perilaku mereka, tentang akhlak mereka terhadap orang tua dan gurunya, tentang ketidaktahuan dan keengganannya menunaikan ibadah sholat. Tiba-tiba ada perasaan bersalah muncul dalam dirinya. Adakah aku telah menjadi bagian dari semua kealpaan mereka? Batinnya meronta!
Terbayang wajah putrinya yang saat itu sedang menempuh pendidikan di sebuah pondok pesantren, ya siswa-siswinya persis seusia putrinya, tentunya juga dia sedang berada pada masa-masa yang sama tapi mereka berbeda, putrinya dididik oleh ustadz dan ustadzah yang senantiasa mengajaknya untuk dekat pada Allah dan menjadikannya sebagai satu-satunya tujuan dalam menuntut ilmu.... ya Allah jagalah putriku dari keganasan zaman ini, jauhkanlah dia dari prilaku seperti apa yang ditemukan pada siswa-siswinya, bimbing pula aku ya Allah agar menjadi guru yang pantas digugu dan di tiru, do'a lirih sang guru.
Dia mulai membuka kembali lembaran-lembaran ingatannya tentang bagaimana dia mengajar akhir-akhir ini, ya..sebuah proses yang tidak lebih dari hanya sekedar pemenuhan persyaratan bahwa kelak siswa-siswinya harus mendapatkan nilai bagus pada raportnya. Ternyata dia telah lupa menyisipkan nilai-nilai yang tidak kalah penting dari sekedar nilai raport tinggi. Kesadaran itu akhirnya hadir, seharusnya pada materi Interpretasi Peta dengan Bentuk dan Pola Muka Bumi aku menyisipkan pesan bahwa ada bukti ke MahaanNya Allah dalam penciptaannya. Bahwa pada materi Interaksi Sosial dapat kutanamkan bahwa siapapun yang menjaga interaksinya dengan Allah, akan dijaga kualitas interaksinya dengan yang lain, begitupun pada materi-materi pelajaran yang lain, batin sang guru di tengah kesadarannya yang kembali hadir mengetuk nalurinya sebagai seorang pendidik.
Dengan semangat yang kembali membuncah, sang guru bertekad, zaman boleh berubah, zaman boleh keras menggilas namun aku tidak boleh kehilangan idealisme sebagai seorang pengajar dan pendidik generasi. Aku harus melakukan sesuatu untuk mereka, siswa-siswiku , sekecil apapun, sebab mereka adalah bagian dari kehidupanku yang kelak akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah.
Bima, Selasa, 6 Februari 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar