Minggu, 07 Juni 2020

Nyanyian Hujan

  

By : Sri Wiyanti

Hujan deras tiba-tiba mengguyur bumi. Ku hentikan laju mobilku dan memarkirnya di pinggir  jalan. Jarak beberapa meter terlihat seorang anak kecil penyewa payung sedang menjajakan payungnya. 

"Payung....payung... payung, Pak!" Suaranya seakan berpacu dengan hujan yang menderas. 

Berlalu beberapa menit sebuah mobil lain juga berhenti tidak jauh dari tempatku memarkir mobilku. Seorang lelaki dan anak berusia sekitar sembilan tahun turun dari mobilnya. Anak kecil penyewa payung sudah siap menyambut mereka. 

"Payungnya, Pak!" tawarnya sambil menyodorkan payung pada lelaki pemilik mobil. 

Ayah dan anaknya berjalan beriringan memakai payung yang sama. Sementara anak kecil penyewa payung mengikuti dari belakang. Keduanya nampak begitu akrab,  terbaca dari bahasa tubuhnya. Sang anak terlihat begitu bahagia. Mungkin ayahnya sedang ingin memberikannya hadiah dengan mengajaknya mampir di sebuah toko mainan. 

"Terima kasih payungnya ya nak," ucap Bapak itu terlihat menyerahkan selembar uang berwarna biru. "Sisanya untukmu,"  lanjutnya.

 "Terima kasih Pak!"  jawab anak kecil penyewa payung dengan terkesima melihat lembaran uang yang baginya sangat banyak untuk harga sewa sebuah payung. 

Beberapa menit berselang, terlihat wajahnya mulai menunduk sambil sesekali menatap punggung anak dan ayah baik hati tadi hingga memasuki toko.  Air matanya tiba-tiba menderas bersama hujan. 

Lirih dia berucap "Andai aku memiliki Ayah seperti Bapak tadi." 

Aku yang sedari awal memperhatikan mereka, ikut merekam adegan bahagia ayah dan anak tadi. Akhirnya aku memutuskan turun dari mobil. Menghampiri anak penyewa payung tanpa memedulikan pakaianku yang jadi sedikit basah.  

"Bapak mau menyewa payung?" tanyanya sambil menyeka air matanya, mungkin dia tidak ingin aku tahu kalau dia habis menangis. "Iya, jawabku." Diserahkannya payung itu padaku. Aku mengambil payung lalu berdiri bersama anak kecil itu. 

"Bapak mau kemana? Biar saya antar," ucapnya menawarkan jasa. 

"Saya hanya ingin di sini bersamamu menikmati hujan ini," jawabku. 

Mata kecilnya mulai terlihat berbinar, dari bibirnya tersungging senyuman. "Kamu tinggal di mana?" lanjutku membuka obrolan. 

"Saya biasa tidur di sekitar sini," jawabnya sambil menunjuk emperan toko. 

"Orang tuamu ke mana?" selidikku. 
 Tiba-tiba wajahnya tertunduk, air mukanya terlihat memerah. Tak lama bulir bening itu sudah membasahi pipinya. 

"Menurut cerita Ibu, Ayah pergi meninggalkan ibu ketika saya masih dalam kandungan. Ibu baru sebulan lalu meninggal setelah lama sakit-sakitan," urainya dengan suara bergetar menahan pilu. Mataku mulai berkaca-kaca, tak sanggup mendengar kelanjutan ceritanya. 

Kenangan dua puluh tahun silam seakan terpampang di depan mata. Aku berdiri di tengah hujan deras menawarkan payung-payungku. Aku yang begitu terpukul dengan kepergian Ibu yang tiba-tiba sementara ayahku tidak pernah kutahu rimbanya hingga hari ini. Gubuk kamipun digusur sehingga setiap malam aku harus tidur berpindah-pindah dari satu emperan toko ke emperan toko lainnya. 

Hingga suatu hari aku bertemu seorang Bapak baik hati penyewa payungku. Beliau mengajakku untuk tinggal di rumahnya, setelah mendengar cerita piluku. Katanya,  aku akan menjadi kado terindah bagi istrinya karena selama ini mereka belum dikaruniai momongan. Sedang hidup mereka berlimpah harta. 

"Nak, maukah kamu ikut bersama Bapak?" Bola matanya tiba-tiba membesar, senyum mengembang dari bibir kecilnya. 
"Benarkah?" tanyanya dengan nada tak percaya. "Iya benar," jawabku mencoba meyakinkannya. Bapak akan mengajakmu tinggal bersama Bapak di rumah. Di sana kau tidak akan kesepian lagi, banyak teman-teman seusiamu. Kau bisa belajar dan bermain bersama mereka. 

Derai hujan mengiringi langkah kami, dua hati yang sedang bernyanyi.

 Bima,  08 Mei 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar