Sabtu, 18 November 2023

JANGAN SALAH MEMAKNAI KATA IKHLAS


Oleh ; Sri Wiyanti

Saya pernah menjadi guru honorer sambil kuliah di sebuah Sekolah Menengah Atas. Ketika itu gaji saya Rp 68.000 (di tahun 2000-an). Hingga awal menikah saya masih bekerja di situ. Kepala sekolah saya seorang yang memiliki sikap empati yang luar biasa menurut saya, terbukti saya yang hanya seorang guru honorer ditawarkan modal usaha oleh sekolah. Dan luar biasanya lagi saya dibolehkan mencicil sesuai kemampuan dan tanpa tambahan sepeserpun. Jelas sekali seorang pemimpin lembaga Pendidikan Islam yang paham teori sekaligus praktik. Saya ingat betul ucapan beliau kala itu "Jangan khawatir Bu Yanti, sekolah kita ini punya banyak duit."

Ucapan beliau tidak main-main dan saya benar-benar diberi modal usaha. Bahkan karena kami keburu pulang kampung (kembali ke Bima) sisa hutang saya belum selesai dan beliau mensupport kami untuk lebih mengutamakan mendengarkan harapan orang tua daripada mengikuti jalan pikiran sendiri yang kala itu ingin tetap merantau. Sisa cicilan itu terselesaikan dengan insentif atas nama saya dan subhanallah sisanya masih dikirim ke Bima ditambah baju kaos dari penerbit karena saya sempat mengkoordinir penjualan LKS di sekolah. Kesan mendalam di hati saya tentang beliau sebagai seorang pemimpin. 

Sebenarnya fokus pembicaraan yang ingin saya sampaikan  adalah tentang ucapan beliau bahwa sekolah memiliki banyak duit. Entah beliau bermaksud berkelar atau bagaimana yang jelas saya sudah merasakan manfaatnya. Uang dari penjualan komputer itu menjadi modal kami memulai kehidupan baru di kampung sendiri.

Berawal dari pengalaman bersama beliau dan juga pemahaman kami akan beratnya tugas mendidik, maka hal yang sangat menjadi perhatian kami ketika mengelola lembaga pendidikan adalah dengan memperhatikan kesejaheraan guru. Berusaha menggaji semaksimal dari kemampuan keuangan sekolah tentunya. Yang jika saja diukur dari standar UMR masih jauh panggang dari api. Namun baru ini yang dapat kami lakukan karena memang sumber keuangan bertumpu dari pembayaran SPP siswa, hal ini berlaku pada semua jenjang TK, KUTTAB dan Baitul Qur'an. 

Dengan kondisi demikian pun terkadang masih ada yang berpikiran, Lembaga pendidikan Islam kok berbayar?" Ada juga yang berucap "Ustadz kok ceramah dan mengajar Al Qur'an berharap bayaran?" Artinya kita belum benar-benar memahami bagaimana seharusnya kita mengambil bagian dalam mewujudkan pendidikan yang baik dan benar-benar berkualitas sehingga keluarannya adalah anak-anak yang memang sesuai harapan kita, cerdas dan berakhlak mulia.

Bagaimana harapan itu bisa terwujud jika hak-hak guru atau ustadz dan ustadzah kurang kita perhatikan. Apakah kata keikhlasan harus merenggut hak-hak para guru atau Ustadz dan Ustadzah untuk bisa hidup layak? Sementara tuntutan kita sebagai orang tua dan masyarakat tidak mudah untuk mereka wujudkan. 

Agar kita tidak salah menghitung, jika wali murid membayar Rp 50.000,-/bulan untuk infak mengaji dengan pertemuan 16-18 kali sebulan, artinya setiap pertemuan hanya kita hargai Rp 2.777,- dan jika kita membayar SPP Rp 100.000/bulan dengan 26 kali pertemuan maka kita hanya membayar Rp 3.876,- per pertemuan. Nilai yang sangat tidak layak untuk tugas mengajar dan mendidik. Bahkan jika dibandingkan dengan uang saku anak-anak/hari tentu nominalnya tidak seimbang. Itu pun masih ada yang tega menunggak bayaran tanpa pemberitahuan atau konfirmasi dan ada juga yang tidak ingin membayar jika anaknya sering tidak hadir. 

Sungguh menyedihkan dan sesungguhnya ini teguran keras bagi orang tua yang memiliki kemampuan namun kurang perhatian terhadap kewajibannya. Adakah seorang baby sister yang mau dibayar Rp 100.000/bulan dengan kewajiban mengasuh sekaligus mendidik? Dan semua tugas itu dilakukan oleh seorang guru.
 
Apalagi terkadang ada wali murid yang bersikap kurang hormat pada guru atau ustadz dan ustadzah anaknya karena merasa sudah membayar? Mari kita sama-sama merenung sejenak tentang harapan kita yang tinggi namun usaha kita masih biasa-biasa saja. Karena sikap kita sebagai orang tua akan sangat berpengaruh terhadap keberkahan ilmu anak-anak kita.

Bahkan saya pernah membaca sebuah tulisan dari seorang Ustadz di sebuah group wali santri, menurut beliau adalah bentuk kedzoliman bila kita menunda pembayaran padahal sudah melebihi batas waktu kesepakatan pembayaran sementara kita adalah orang tua yang memiliki kemampuan, kecuali kita melakukan konfirmasi terlebih dahulu jika ada kendala dan itu pun harus dengan uzur syar'i.

Membangun pendidikan yang islami tidak mudah. Mendidik anak-anak bukan perkara ringan. Maka mari kita saling sokong dalam sinergitas. Antara orang tua, guru dan pengelola pendidikan serta masyarakat harus memiliki cara pandang dan visi yang sama akan pendidikan anak-anak kita. Jika bukan kita yang peduli, lalu pada siapa kita akan serahkan tugas dan tanggungjawab besar ini. Guru dan kami sebagai pengelola tidak mencari kekayaan dengan jalan ini, para guru hanya sekedar berharap bisa makan dengan layak sehingga memiliki energi yang cukup untuk menjalankan tugas mendidiknya.

Doakan dan sokong para guru dan sesiapa pun yang berjuang di jalan pendidikan, berusaha membangun generasi ini, karena gelar "Pahlawan Tanpa Tanda Jasa" tidak cukup dan sama sekali tidak mampu menghilangkan rasa lapar.

#RenungandiHGN
#Renunganbagisemuaorangtua
#Ikhlasitutidakbermaknaserbagratis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar