By : Sri Wiyanti
Di era kesejagatan atau globalisasi yang di barengi praktek gombalisasi sekarang ini, berselancar di dunia maya atau di media sosial menjadi sebuah kebutuhan. Kebanyakan orang lebih mampu menahan haus dan lapar dibanding bertahan untuk tidak bermedsos ria. Meski hanya sekedar membuat status-status alay atau komen-komen lebay.
Artinya hampir setiap individu memiliki jejak digital (digital footprint).
Jejak digital tiap orang berbeda-beda tergantung tujuan dia hadir di media sosial. Apakah untuk berbagi kebaikan dan hal-hal positif, berbagi cerita, mencari teman ataukah sekedar menunjukkan eksistensi diri dan mengharapkan pengakuan publik.
Pribadi dengan tipe positif akan melakukan satu bentuk kebaikan walau sekecil apapun. Sebaliknya pribadi dengan tipe negatif cenderung pada aktifitas ngehoax, mengadu domba atau ngebully atau sederet aktifitas negatif lainnya.
Efek jejak digital dapat menimbulkan kehebohan di dunia maya ataupun di dunia nyata. Melalui jejak digital aktifitas seseorang terpantau sehingga jejak kebaikan ataupun keburukan dapat diketahui oleh orang lain, meski tidak semua jejak digital berpengaruh terhadap kehidupan seseorang.
Rekaman kebaikan sekian tahun yang lalu mungkin saja menjadi viral karena ada pihak yang mengetahui jejak digital seseorang. Entah dengan tujuan politik atau tujuan lainnya. Begitu pula dengan catatan keburukan atau tindakan kriminalitas seseorang.
Pada banyak kasus, tertangkapnya pelaku pencurian, penipuan, penganiayaan anak di bawah umur, sindikat pengedar narkoba, kasus korupsi, kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), perselingkuhan hingga perceraian dan banyak kasus lainnya tidak dapat dilepaskan dari kontribusi adanya jejak digital seseorang.
Mengingat begitu besarnya dampak jejak digital bagi kehidupan seseorang sudah seharusnya kita berhati-hati ketika berselancar di media sosial, pastikan aktifitas kita adalah aktivitas positif dan bertanggung jawab.
Paling ditakutkan jika jejak digital kita menimbulkan ketidakbaikan, berujung pada perpecahan, atau berurusan dengan pihak berwajib dan akhirnya diseret ke pengadilan hingga dijatuhi hukuman.
Apabila jejak digital sedemikian berpengaruh dan mampu membawa perubahan pada kehidupan seseorang lalu bagiamana dengan catatan amal kita yang setiap detik, setiap menit malaikat Allah tidak pernah lalai dalam mencatatnya?
Jika jejak digital masih bisa dihapus, masih ada celah untuk melakukan lobi-lobi atau pendekatan- pendekatan untuk terhindar dari dampak buruknya, masih berpeluang meminta maaf untuk mengakhiri permasalahannya, masih ada praktek suap-menyuap untuk terhindar dari jerat hukum, lantas bagiamana dengan pertanggungjawaban di hadapan pengadilan Allah yang semua upaya tidak lagi berguna?
Bullyan manusia saja sudah sedemikian beratnya untuk dihadapi apakah lagi dengan neraka Allah yang siap mencampakkan kita dalam puncak kehinaan?
Masihkah kita merasa aman dengan jejak digital kita, dengan catatan-catatan rahasia kita di media sosial, sementara jejak yang kita tinggalkan adalah jejak-jejak gelap, penuh maksiat. Boleh saja jejak digital kita lolos dari pengawasan manusia namun tidak akan lepas dari pengawasan Allah. Lantas siapakah yang lebih kita takutkan? Manusia? Ataukah Allah?
Talabiu Bima
Rabu, 19 September 2018
Repost Rabu 26 April 2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar